Sa’id bin Amir merupakan walikota Homs, Syiria yang dikenal adil, jujur dan bijaksana. Umar bin al-Khatab sebagai khalifah yang dulu mengangkat dia, tidak begitu saja percaya mendengar berita kebaikan anak buahnya. Khalifah masih perlu mencari informasi lain tentang keadaan Walikota tersebut. Memang benar, khalifah Umar sama sekali tidak mendapat informasi miring perihal Walikota Sa’id bin Amir tersebut.
Pada suatu kesempatan, khalifah Umar melakukan kunjungan ke kota Homs. Dalam sebuah forum terbuka, Umar menanyakan kinerja walikotanya dalam melayani masyarakat di kota itu. Ada seseorang maju ke depan dan menyampaikan ketidak puasan Walikotanya dalam empat hal sebagai-berikut :
1. Ia baru keluar menemui masyarakat setelah matahari terbit agak tinggi.
2. Ia tidak menyediakan pelayanan masyarakat pada malam hari.
3. Pada setiap bulan ada dua hari dimana ia tidak keluar menemui masyarakat.
4. Ia sewaktu-waktu suka jatuh pingsan.
Mendengar pengaduan itu, Umar tertunduk sebentar, lalu mempersilakan Sa’id untuk menanggapi ketidak puasan masyarakat tadi. Akhirnya, Sa’id sang Walikota dengan sedikit linangan air mata berupaya menjelaskan satu persatu, sebagai-berikut :
1. Mengenai tuduhan bahwa saya tidak keluar sebelum hari sedikit siang, memang karena keluarga kami tidak mempunyai pelayan, maka sayalah yang mengaduk tepung dan membuat roti, kemudian setelah itu berwudlu untuk shalat Dhuha. Setelah itu, barulah saya keluar melayani masyarakat.
2. Adapun tuduhan bahwa saya tidak mau melayani masyarakat di malam hari, demi Allah sebenarnya saya tidak mau menyebutkannya. Saya telah menyediakan waktu siang sepenuhnya untuk seluruh rakyat, dan malam hari bagi Allah SWT.
3. Sedangkan perihal dua hari dalam sebulan tidak keluar rumah, itu karena saya tidak mempunyai pelayan untuk mencuci pakaian, sedangkan pakaian saya juga terbatas. Jadi terpaksa saya mencucinya dan menunggu sampai kering, hingga baru bisa keluar diwaktu petang.
4. Kemudian tentang sering pingsan, saya ketika dulu di Mekah pernah menyaksikan Khubaib al-Anshari disiksa oleh kafir Quraisy, digotong dengan sebuah tandu sambil kulitnya disayat-sayat memakai pisau, lalu kafir Quraisy bertanya kepada Khubaib, “Maukah tempat ini digantikan oleh Muhammad, dan kamu bebas dalam keadaan sehat wal’afiat?”. Khubaib menjawab, “Demi Allah, saya tidak sudi berada dalam kesenangan dan kebahagian dunia, sementara Rasulullah SAW ditimpa bencana, walau hanya tusukan duri sekalipun”. Maka setiap terkenang peristiwa itu, dimana saya masih dalam keadaan musyrik, lalu teringat ketika itu saya berpangku tangan, tidak memberikan pertolongan kepada Khubaib, tubuh saya gemetar karena takut siksa Allah, sehingga saya pingsan.
Sampai di sana, berakhirlah kata-kata Sa’id, ia membiarkan kedua bibirnya basah oleh air mata yang suci , mengalir dari jiwanya yang shalih. Mendengar itu, Umar tak dapat menahan rasa harunya, seraya mengucapkan ‘Hamdallah’, dirangkul dan dipeluknya Sa’id dengan penuh kebanggaan.
Inilah gambaran pimpinan yang amanah, jujur, sederhana, mementingkan masyarakat dan berkepribadian shaleh. Ia dekat dengan masyarakat dan juga dekat dengan Allah. Merasakan kesulitan yang dialami masyarakat, tanpa memanfaatkan kesempatan, sekalipun daerah yang dipimpinnya termasuk daerah yang subur dengan Pendapatan Asli Daerah (PAD) tinggi. Ia menyadari bahwa pemimpin adalah pelayan masyarakat yang akan diminta pertanggungjawabannya baik di dunia atau akhirat.
Kepemimpinan yang amanah, akan senantiasa tepat disegala jaman, termasuk sekarang ini. Apabila kita perhatikan, pola hidup Pemimpin/Pejabat saat ini, mereka mempunyai pelayan lebih dari satu, mempunyai rumah mewah lebih dari satu, mempunyai mobil mewah lebih dari satu, mempunyai tanah/kebun dimana-mana. Itu semua dengan asumsi ‘investasi’, dengan pola hidup keseharian yang serba mewah (luxury). Padahal kita tidak mengetahui dari mana sumber dana untuk memiliki semua itu? Apakah sumber dana untuk memiliki semua itu halal atau haram? Sehingga, Pempimpin/Pejabat tersebut karena ada kesempatan, untuk mendapatkan dana dengan mudah, akhirnya dia mempermainkan laporan pertanggungjawaban, istilah saat ini ‘korupsi’. Bahkan, pembicaraan di kalangan rakyat kecil istilah tersebut harus diganti dengan ‘pencuri’, karena hakikatnya ‘koruptor’ sama saja dengan ‘pencuri’.
Lalu, bagaimana dengan fenomena bahwa seorang Pemimpin/Pejabat harus siap melayani masyarakat, kapan saja, di mana saja, bahkan 24 jam sekalipun. Seorang Pemimpin harus meningkatkan kinerja, dedikasi dan profesionalisme? Penulis berasumsi, kepribadian sang Walikota Homs, Syiria Sa’id bin Amir bisa dijadikan rujukan bagi para Pemimpin dan Pejabat di negara kita, tinggal disesuaikan dengan keadaan dan jaman saat ini.
Penulis teringat ungkapan seorang Dokter ahli bedah tumor (onkologi) senior di Indonesia Prof. dr. R. Koestedjo, pada usia 92 tahun masih sehat wal’afiat dan berkarya, bahwa seorang dokter saat ini memang harus hidup layak dan berkecukupan, tetapi jangan mengorbankan ideologi hanya karena mau kaya-raya dari profesi kedokteran, bekerjalah dengan ikhlas, rezeki akan datang dengan sendirinya, saya punya rumah di kawasan Jalan Dago Bandung, diberi dari Belanda karena banyak pasiennya yang saya obati tanpa biaya, saya punya mobil dikasih dari pasien yang sembuh setelah di operasi, hakikat yang menyembuhkannya adalah Allah SWT dengan syari’at dioperasi (Pikiran Rakyat Bandung : 09/08/2008).
Seorang Pemimpin/Pejabat bisa mempunyai seorang pelayan, kalau memang dapat meningkatkan kinerjanya. Seorang Pemimpin/Pejabat bisa mempunyai pakaian lebih dari satu, apabila memang pakaian itu dapat menjadikan sarana untuk meningkatkan kinerjanya dalam rangka melayani masyarakat. Seorang Pemimpin/Pejabat bisa mempunyai kendaraan, untuk mempercepat melayani masyarakat. Namun semua itu, apabila seorang Pemimpin/Pejabat dengan rujukan sang Walikota Homs, Syiria Sa’id bin Amir, maka Pemimpin/Pejabat saat ini harus hidup secara ‘proporsional’ atau apa adanya ‘qona’ah’.
Semoga bermanfaat.